BRANDSPACE.ID

Berkumpul dan Mainkan Permainan Terbaik Bersama Kami!

Trend Penurunan Penjualan Konsol Gaming di Amerika

konsol

Brandspace.id – Beberapa tahun lalu, pasar perangkat keras gaming—termasuk konsol, GPU, prosesor, dan aksesori—menjadi sektor dengan pertumbuhan paling pesat di Amerika Serikat.

Pandemi COVID-19 memicu lonjakan pembelian konsol seperti PlayStation 5, Xbox Series X, dan kartu grafis high-end untuk PC gaming. Namun, setelah masa keemasan tersebut, industri kini menghadapi kenyataan pahit: penurunan signifikan dalam penjualan hardware gaming di pasar Amerika.

Data dari lembaga riset seperti Circana (dahulu NPD Group) dan Statista mencatat adanya kontraksi tahunan sejak 2023, dan tren itu tampaknya berlanjut sepanjang 2024 hingga awal 2025.

Penurunan ini menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini tanda jenuh pasar? Apakah karena inflasi dan tekanan ekonomi? Atau adakah perubahan mendasar dalam kebiasaan bermain game masyarakat Amerika?

Data Penurunan: Grafik yang Menurun Drastis

Menurut laporan Circana untuk kuartal pertama 2025, penjualan konsol turun hampir 18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan paling signifikan terlihat pada PlayStation 5 dan Xbox Series X|S, yang sebelumnya mencetak rekor penjualan pasca-pandemi. Bahkan Nintendo Switch, meski masih bertahan karena ekosistem gamenya yang kuat, mengalami penurunan sebesar 12%.

“Ini bukan sekadar fluktuasi biasa. Kita melihat tren yang konsisten menurun sejak pertengahan 2023,” kata Mat Piscatella, analis pasar game di Circana.

Penjualan kartu grafis dan hardware PC gaming juga tidak lebih baik. Kartu grafis Nvidia seri RTX 4000 dan AMD RX 7000 hanya terserap sebagian pasar. Menurut Steam Hardware Survey, adopsi GPU generasi baru berjalan lambat, dengan banyak gamer masih bertahan di seri RTX 3060 atau bahkan GTX 1660 karena alasan harga.

Faktor Ekonomi: Inflasi dan Kelelahan Konsumen

Salah satu faktor utama penurunan penjualan hardware gaming adalah tekanan ekonomi yang dirasakan rumah tangga di Amerika Serikat. Setelah pandemi, banyak keluarga menghadapi inflasi tinggi, suku bunga meningkat, dan ketidakpastian ekonomi. Konsol seharga $500 dan GPU seharga $800 bukan lagi prioritas utama.

“Gamer kini harus memilih antara membayar tagihan listrik atau membeli upgrade perangkat keras. Dan jelas, pilihan mereka bukan pada gaming,” ujar Mary Pollack, konsultan finansial di Chicago.

Laporan juga menyebutkan adanya fenomena kelelahan konsumtif. Setelah dua tahun memborong perangkat gaming saat pandemi, banyak konsumen merasa tidak perlu membeli perangkat baru dalam waktu dekat. Masa hidup konsol yang panjang dan minimnya game eksklusif baru juga memperkuat alasan untuk tidak upgrade.

Pasar Jenuh dan Generasi Konsol yang Terlalu Lama

Siklus hidup konsol gaming biasanya berkisar 6–7 tahun, namun generasi saat ini tampak stagnan lebih cepat. Banyak gamer menilai bahwa PlayStation 5 dan Xbox Series X tidak memberikan lompatan revolusioner dibanding PS4 atau Xbox One.

Kurangnya game eksklusif dengan grafis benar-benar “next-gen” turut memperburuk persepsi bahwa upgrade ke konsol baru tidak terlalu penting. Bahkan, banyak game masih rilis dengan dukungan lintas generasi, mengurangi urgensi membeli perangkat baru.

“Jika God of War Ragnarok masih bisa dimainkan di PS4, mengapa saya harus beli PS5 sekarang?” kata seorang gamer dalam forum Reddit r/Games.

Selain itu, performa visual yang didorong AI seperti DLSS (Nvidia) dan FSR (AMD) justru memungkinkan gamer mendapatkan performa tinggi tanpa harus beli kartu grafis paling mahal.

Dominasi Game Mobile dan Cloud Gaming

Industri gaming tidak berhenti tumbuh. Namun, pertumbuhan kini lebih terlihat pada sektor mobile dan cloud gaming. Game seperti Call of Duty: Mobile, Genshin Impact, dan Honkai: Star Rail kini mampu menyedot perhatian jutaan pemain tanpa memerlukan konsol atau PC high-end.

Layanan cloud gaming seperti Xbox Cloud Gaming, NVIDIA GeForce Now, dan Amazon Luna mulai menjadi alternatif bagi gamer yang ingin bermain game AAA tanpa harus mengeluarkan uang besar untuk hardware.

“Dulu saya menghabiskan $2000 untuk rakit PC, sekarang saya cukup berlangganan Game Pass dan main di tablet,” ujar seorang pengguna GeForce Now.

Ini menandai pergeseran besar: dari ownership ke accessibility, dari investasi jangka panjang ke konsumsi berbasis layanan. Dan jelas, ini berdampak langsung pada turunnya permintaan perangkat keras fisik.

Kurangnya Inovasi yang Menarik Minat Massal

Masalah lain yang tidak kalah penting adalah minimnya inovasi menarik dari produsen hardware. PS5 dan Xbox Series X hanya membawa peningkatan grafis dan loading time. Tapi tidak seperti Nintendo Switch yang membawa konsep hybrid konsol-portabel, Sony dan Microsoft gagal menghadirkan sesuatu yang revolusioner.

Sementara itu, Nvidia dan AMD terus berlomba pada spesifikasi teknis—jumlah CUDA core, ray tracing, teraflop—namun abai terhadap nilai praktis yang bisa dirasakan gamer sehari-hari.

“Orang awam tidak tertarik pada angka. Mereka tertarik pada pengalaman,” tegas Reggie Fils-Aimé, mantan Presiden Nintendo of America, dalam wawancaranya bersama Bloomberg.

Kurangnya killer app atau fitur eksklusif yang membuat orang berkata “saya harus beli itu sekarang juga” membuat konsumen memilih menunda pembelian.

Strategi Produsen yang Terjebak Premium Pricing

Harga juga menjadi faktor penentu penting. Kartu grafis kelas atas kini menyentuh harga lebih dari $1200 untuk RTX 4090. Sementara GPU kelas menengah seperti RTX 4070 masih tergolong mahal bagi banyak gamer rumahan. Strategi pricing seperti ini membatasi akses pasar dan mempersempit demografi pembeli.

Berbeda dengan masa lalu, di mana Nvidia masih menawarkan varian GTX 1050Ti atau 1650 untuk gamer hemat, kini hampir tidak ada GPU baru di bawah $250 yang dianggap layak main game AAA dengan performa baik.

“Jika hardware mahal dan game juga mahal, maka gamer akan mencari alternatif. Dan mereka menemukan alternatifnya di mobile atau cloud,” ujar analis dari TechRadar.

Dampak Terhadap Ritel dan Developer

Penurunan penjualan hardware berdampak langsung pada ritel game dan pengembang perangkat lunak. Ritel seperti GameStop melaporkan penurunan pendapatan dari sektor konsol dan aksesori. Bahkan beberapa cabang harus ditutup karena penurunan traffic.

Bagi developer, lebih sedikitnya penjualan konsol atau GPU baru berarti adopsi teknologi terbaru lebih lambat. Ini membuat pengembang harus terus mendukung perangkat lama, menghambat inovasi dalam pengembangan game.

“Jika tidak semua orang punya PS5, kami harus tetap bikin game yang jalan di PS4. Itu menahan potensi kami,” ujar seorang developer indie dari California.

Potensi Solusi dan Langkah Antisipasi

Melihat situasi ini, produsen dan pelaku industri perlu mengambil langkah strategis. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan:

  1. Menurunkan harga hardware secara signifikan, khususnya GPU dan konsol versi slim atau lite.

  2. Mengembangkan inovasi menarik seperti fitur hybrid, modular upgrade, atau pengintegrasian AI untuk pengalaman bermain yang benar-benar baru.

  3. Meningkatkan layanan cloud gaming agar menjadi lebih stabil, murah, dan mudah diakses.

  4. Menawarkan paket bundling antara game eksklusif dan perangkat dengan harga terjangkau.

  5. Mendukung game yang ringan namun menyenangkan, agar tidak semua gamer merasa harus memiliki hardware high-end.

Selain itu, transparansi roadmap produk juga penting. Konsumen perlu tahu kapan siklus generasi berikutnya akan datang, sehingga bisa mengambil keputusan dengan informasi yang cukup.

Kesimpulan: Momentum Evaluasi Industri

Penurunan penjualan hardware gaming di Amerika bukan sekadar gejala pasar jenuh atau dampak inflasi. Ini adalah sinyal bahwa industri harus mengevaluasi model bisnis dan arah inovasi.

Konsumen kini lebih bijak, lebih selektif, dan lebih sadar akan nilai dari uang yang mereka keluarkan. Mereka tidak sekadar membeli grafis lebih tajam atau loading lebih cepat. Mereka mencari pengalaman baru, kebebasan akses, dan nilai jangka panjang.

Selama produsen tetap terpaku pada spesifikasi teknis tanpa memperhatikan kebutuhan gamer sesungguhnya, tren penurunan ini akan terus berlangsung. Namun, bagi mereka yang berani berinovasi dan mendengar suara pasar, ini bisa jadi peluang untuk menciptakan era baru gaming yang lebih inklusif, efisien, dan menghibur.