Brandspace.id – “Hellblade II: Senua’s Saga” adalah game action-adventure yang dikembangkan oleh Ninja Theory dan dipublikasikan oleh Xbox Game Studios. Dirilis pada Mei 2024 secara eksklusif untuk Xbox Series X|S dan PC, game ini merupakan sekuel dari “Hellblade: Senua’s Sacrifice” yang sempat mencuri perhatian dunia pada 2017.
Hellblade pertama dikenal karena keberaniannya mengangkat isu gangguan mental, khususnya psikosis, dengan pendekatan naratif dan visual yang mendalam. Keberhasilan tersebut menciptakan ekspektasi tinggi terhadap sekuelnya.
Hellblade II bukan sekadar kelanjutan kisah Senua, tetapi juga sebuah lompatan besar dalam kualitas grafis, desain audio, dan pendekatan sinematik yang mendalam. Game ini telah menjadi bukti bahwa industri game bisa menjadi medium untuk menyampaikan kisah psikologis dan budaya secara artistik dan berani.
Latar Belakang Dunia dan Karakter Senua
Cerita Hellblade II kembali berpusat pada Senua, seorang pejuang dari masa Viking yang mengalami gangguan psikosis berat. Dalam game pertama, Senua berjuang untuk menyelamatkan jiwa kekasihnya dari alam kematian, Helheim, sembari menghadapi suara-suara dalam kepalanya (dikenal sebagai “Furies”) dan halusinasi yang membuat pemain mempertanyakan realitas.
Dalam sekuel ini, latar berpindah dari tanah mitologi Norse yang suram menuju dunia yang lebih luas dan lebih kejam di Islandia. Senua kali ini bukan lagi petarung yang berjuang sendirian, tetapi menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan dan kekejaman yang menimpa masyarakatnya.
Transformasi karakter ini menjadi inti penting dari narasi Hellblade II, yang tidak hanya mengeksplorasi trauma pribadi, tetapi juga trauma kolektif.
Grafis dan Teknologi: Realisme yang Memukau
Salah satu aspek paling mengesankan dari Hellblade II adalah visualnya yang sangat realistis. Game ini dikembangkan menggunakan Unreal Engine 5 dan menjadi salah satu showcase teknologi grafis generasi baru.
Detail wajah Senua, pencahayaan dinamis, tekstur lingkungan, dan animasi pertarungan terlihat nyaris fotorealistik. Banyak adegan dibuat menggunakan teknologi motion capture canggih, dan aktris utama Melina Juergens kembali memerankan Senua dengan performa luar biasa.
Dalam wawancara dengan pengembang, disebutkan bahwa Ninja Theory bahkan mengunjungi lokasi di Islandia untuk merekam langsung suasana alam, langit, kabut, dan batuan untuk meningkatkan keaslian visual. Hasilnya adalah sebuah dunia yang hidup, brutal, dan memikat secara visual, membuat pemain larut dalam atmosfer yang gelap dan menekan.
Desain Audio dan Psikoakustik
Salah satu kekuatan terbesar dari Hellblade II terletak pada desain audionya yang luar biasa. Seperti pendahulunya, game ini menggunakan binaural audio untuk mensimulasikan suara 3D dalam kepala pemain.
Teknik ini membuat suara-suara yang didengar Senua, seperti bisikan, ejekan, atau teriakan dalam pikirannya, terdengar sangat nyata dan menakutkan. Tim pengembang bahkan bekerja sama dengan psikolog dan penderita psikosis nyata untuk merekam pengalaman auditori yang autentik.
Dengan headset, pemain dapat merasakan bagaimana rasanya hidup dalam ketidakpastian antara kenyataan dan halusinasi. Selain itu, musik yang menghantui dan efek suara lingkungan seperti angin kencang, desiran air, dan dentuman batu juga dirancang untuk memperkuat kesan dunia yang keras dan mematikan. Soundtrack-nya, hasil kolaborasi dengan band Nordik Heilung, memberi nuansa magis dan tribal yang kuat.
Gameplay dan Mekanika Pertarungan
Berbeda dengan game pertama yang lebih fokus pada eksplorasi dan puzzle ringan, Hellblade II memperluas aspek gameplay terutama dalam pertarungan. Pertarungan satu lawan satu dalam game ini terasa lebih brutal, berat, dan realistis.
Tidak ada sistem health bar yang mencolok atau combo yang rumit—setiap serangan terasa punya berat, dan kesalahan bisa berakibat fatal. Gerakan Senua di medan pertempuran dirancang sedemikian rupa untuk terasa personal dan sinematik.
Pemain tidak hanya sekadar menekan tombol, tetapi benar-benar merasakan intensitas dan tekanan dari setiap konfrontasi. Selain itu, Hellblade II memperkenalkan beberapa skenario puzzle lingkungan yang lebih kompleks dan elemen stealth yang menambah variasi gameplay tanpa mengganggu nuansa naratif.
Pendekatan Naratif Sinematik
Salah satu aspek yang paling membedakan Hellblade II dari kebanyakan game lainnya adalah pendekatannya yang nyaris seperti film arthouse. Cutscene dan gameplay berpadu tanpa transisi mencolok, membuat pemain merasa seperti berada dalam satu rangkaian pengalaman sinematik yang utuh.
Penekanan pada narasi pribadi dan simbolisme membuat Hellblade II lebih terasa seperti karya seni interaktif daripada sekadar hiburan. Dialog internal Senua, flashback, mimpi buruk, dan simbolisme Norse mitologi disajikan dengan puitis dan kadang ambigu, menantang pemain untuk menafsirkan makna di balik peristiwa.
Game ini tidak selalu memberi jawaban langsung, dan itulah yang membuatnya begitu unik. Hellblade II adalah pengalaman emosional, introspektif, dan filosofis yang jarang dijumpai di game mainstream lainnya.
Eksplorasi Tema Kesehatan Mental dan Trauma
Seperti pendahulunya, Hellblade II tetap berani mengangkat isu kesehatan mental secara frontal. Namun, kali ini cakupan temanya diperluas. Jika pada game pertama Senua lebih banyak berjuang dengan rasa bersalah dan kehilangan, maka di game kedua, ia juga harus menghadapi trauma kolektif, kekejaman perang, dan penindasan terhadap kelompok minoritas.
Hal ini membuat cerita terasa lebih relevan secara sosial. Penggambaran psikosis di Hellblade II tidak diperlakukan sebagai “penyakit gila,” tetapi sebagai pengalaman subjektif yang kompleks, penuh ketakutan, namun juga memiliki momen kekuatan dan keteguhan.
Hal ini menjadikan Hellblade II sebagai salah satu representasi kesehatan mental terbaik dalam sejarah video game, dengan sensitivitas tinggi namun tidak mengurangi elemen dramatisnya.
Penerimaan Publik dan Kritik
Sejak dirilis, Hellblade II mendapatkan pujian luas dari kritikus dan pemain. Banyak yang memuji pencapaiannya dalam kualitas visual, desain audio, dan kedalaman emosional.
Situs seperti IGN dan GameSpot memberikan skor di atas 9/10, menyebutnya sebagai “mahakarya sinematik interaktif.” Namun, tidak sedikit juga yang menyebut game ini bukan untuk semua orang.
Beberapa mengkritik gameplay yang terlalu linier, kurang variasi dalam pertarungan, dan pacing cerita yang lambat. Tetapi kritik tersebut biasanya berasal dari ekspektasi terhadap game aksi konvensional.
Hellblade II memang bukan game yang menitikberatkan pada gameplay cepat atau sistem RPG yang dalam. Sebaliknya, ini adalah pengalaman naratif dan emosional yang menuntut kesabaran dan keterbukaan dari pemainnya.
Peran Microsoft dan Masa Depan Ninja Theory
Akuisisi Ninja Theory oleh Microsoft pada 2018 terbukti menjadi langkah strategis yang menguntungkan kedua belah pihak. Microsoft menyediakan sumber daya dan teknologi yang memungkinkan Hellblade II menjadi proyek ambisius, sementara Ninja Theory tetap mempertahankan identitas artistik dan kebebasan kreatifnya.
Kesuksesan Hellblade II menunjukkan bahwa game eksklusif Xbox kini mulai berani menyaingi PlayStation dalam hal kualitas narasi dan presentasi artistik. Masa depan Ninja Theory sendiri terlihat cerah, dengan proyek-proyek baru seperti “Project Mara” yang juga mengeksplorasi horor psikologis dengan pendekatan realistik.
Jika tren ini terus berlanjut, Ninja Theory bisa menjadi studio prestisius dalam menciptakan game-game naratif yang menggabungkan teknologi tinggi dan eksplorasi tema manusiawi secara mendalam.
Pengaruh Budaya dan Interpretasi Simbolis
Hellblade II tidak hanya memukau secara teknis, tetapi juga kaya akan referensi budaya dan simbolisme mitologi Norse serta Celtic. Senua adalah gambaran kompleks antara seorang pahlawan, penyintas trauma, dan duta suara-suara batin yang sering tidak terdengar.
Interpretasi terhadap karakter dan dunianya sangat terbuka. Beberapa pemain melihat cerita Hellblade II sebagai metafora perjalanan penyembuhan dari trauma, sementara yang lain melihatnya sebagai kritik terhadap kekerasan patriarki dan penindasan sistemik.
Visual yang penuh kabut, bangunan reruntuhan, makhluk mistis, dan ritual suku kuno menambah dimensi magis dan spiritual dalam game ini. Hal ini membuat Hellblade II lebih dari sekadar game aksi—ini adalah karya budaya yang bisa dianalisis dari berbagai sudut pandang: psikologi, mitologi, feminisme, hingga filsafat eksistensial.
Kesimpulan: Game yang Melampaui Mediumnya
Hellblade II: Senua’s Saga bukan hanya sebuah sekuel—ia adalah evolusi. Game ini menegaskan bahwa industri video game bisa menyajikan narasi emosional yang menyentuh, presentasi visual sinematik, serta eksplorasi psikologis yang mendalam, setara dengan film, sastra, atau teater.
Dengan kombinasi antara teknologi tinggi, keberanian tema, dan performa akting luar biasa, Hellblade II menantang batasan genre dan membuka jalan bagi game-game masa depan yang lebih berani, manusiawi, dan introspektif.
Game ini memang bukan untuk semua orang, tetapi bagi mereka yang bersedia menyelami kedalaman jiwa manusia melalui medium interaktif, Hellblade II adalah pengalaman yang tak terlupakan—sebuah mahakarya gelap yang bersinar dalam dunia game modern.